Selasa, 31 Agustus 2010

JILBAB

Telah menjadi suatu ijma’ bagi kaum Muslimin di semua negara
dan di setiap masa pada semua golongan fuqaha, ulama,
ahli-ahli hadis dan ahli tasawuf, bahwa rambut wanita itu
termasuk perhiasan yang wajib ditutup, tidak boleh dibuka di
hadapan orang yang bukan muhrimnya.
Adapun sanad dan dalil dari ijma’ tersebut ialah ayat
Al-Qur’an:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah
mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dadanya, …”
(Q.s. An-Nuur: 31).
Maka, berdasarkan ayat di atas, Allah swt. telah melarang
bagi wanita Mukminat untuk memperlihatkan perhiasannya.
Kecuali yang lahir (biasa tampak). Di antara para ulama,
baik dahulu maupun sekarang, tidak ada yang mengatakan bahwa
rambut wanita itu termasuk hal-hal yang lahir; bahkan
ulama-ulama yang berpandangan luas, hal itu digolongkan
perhiasan yang tidak tampak.
Dalam tafsirnya, Al-Qurthubi mengatakan, “Allah swt. telah
melarang kepada kaum wanita, agar dia tidak menampakkan
perhiasannya (keindahannya), kecuali kepada orang-orang
tertentu; atau perhiasan yang biasa tampak.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Perhiasan yang lahir (biasa tampak)
ialah pakaian.” Ditambahkan oleh Ibnu Jubair, “Wajah”
Ditambah pula oleh Sa’id Ibnu Jubair dan Al-Auzai, “Wajah,
kedua tangan dan pakaian.”
Ibnu Abbas, Qatadah dan Al-Masuri Ibnu Makhramah berkata,
“Perhiasan (keindahan) yang lahir itu ialah celak, perhiasan
dan cincin termasuk dibolehkan (mubah).”
Ibnu Atiyah berkata, “Yang jelas bagi saya ialah yang sesuai
dengan arti ayat tersebut, bahwa wanita diperintahkan untuk
tidak menampakkan dirinya dalam keadaan berhias yang indah
dan supaya berusaha menutupi hal itu. Perkecualian pada
bagian-bagian yang kiranya berat untuk menutupinya, karena
darurat dan sukar, misalnya wajah dan tangan.”
Berkata Al-Qurthubi, “Pandangan Ibnu Atiyah tersebut baik
sekali, karena biasanya wajah dan kedua tangan itu tampak di
waktu biasa dan ketika melakukan amal ibadat, misalnya
salat, ibadat haji dan sebagainya.”
Hal yang demikian ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dari Aisyah r.a. bahwa ketika Asma’ binti Abu
Bakar r.a. bertemu dengan Rasulullah saw, ketika itu Asma’
sedang mengenakan pakaian tipis, lalu Rasulullah saw.
memalingkan muka seraya bersabda:
“Wahai Asma’! Sesungguhnya, jika seorang wanita
sudah sampai masa haid, maka tidak layak lagi bagi
dirinya menampakkannya, kecuali ini …” (beliau
mengisyaratkan pada muka dan tangannya).
Dengan demikian, sabda Rasulullah saw. itu menunjukkan bahwa
rambut wanita tidak termasuk perhiasan yang boleh
ditampakkan, kecuali wajah dan tangan.
Allah swt. telah memerintahkan bagi kaum wanita Mukmin,
dalam ayat di atas, untuk menutup tempat-tempat yang
biasanya terbuka di bagian dada. Arti Al-Khimar itu ialah
“kain untuk menutup kepala,” sebagaimana surban bagi
laki-laki, sebagaimana keterangan para ulama dan ahli
tafsir. Hal ini (hadis yang menganjurkan menutup kepala)
tidak terdapat pada hadis manapun.
Al-Qurthubi berkata, “Sebab turunnya ayat tersebut ialah
bahwa pada masa itu kaum wanita jika menutup kepala dengan
akhmirah (kerudung), maka kerudung itu ditarik ke belakang,
sehingga dada, leher dan telinganya tidak tertutup. Maka,
Allah swt. memerintahkan untuk menutup bagian mukanya, yaitu
dada dan lainnya.”
Dalam riwayat Al-Bukhari, bahwa Aisyah r.a. telah berkata,
“Mudah-mudahan wanita yang berhijrah itu dirahmati Allah.”
Ketika turun ayat tersebut, mereka segera merobek pakaiannya
untuk menutupi apa yang terbuka.
Ketika Aisyah r.a. didatangi oleh Hafsah, kemenakannya, anak
dari saudaranya yang bernama Abdurrahman r.a. dengan memakai
kerudung (khamirah) yang tipis di bagian lehernya, Aisyah
r.a. lalu berkata, “Ini amat tipis, tidak dapat
menutupinya.”

MANAJEMEN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLA DISEKOLAH

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak kalangan menilai bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih tergolong memprihatinkan. Hal ini sudah barang tentu menjadi tantangan bagi setiap elemen yang terlibat dalam pendidikan bagaimana meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri. Sebagaimana diyakini bahwa mutu pendidikan sangat berbanding lurus dengan mutu (kualitas) para pendidiknya. Artinya, kualitas suatu pendidikan sangat dipengaruhi oleh seberapa tinggi tingkat profesionalitas para pendidiknya.
UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan PP Nomor 19/2005 telah merumuskan parameter bagaimana seorang guru bisa dikategorikan sebagai pendidik yang profesional. Merujuk pada UU dan PP di tersebut, seorang pendidik dikatakan memiliki keprofesionalan jika mereka setidaknya memiliki 4 kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Namun demikian untuk menjadi pendidik profesional diperlukan usaha-usaha yang sistemik dan konsisten serta berkesinambungan dari pendidik itu sendiri dan pihak pengambil kebijakan.
Selain aspek profesionalitas guru, hal penting lainnya yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan adalah pembaruan dalam efektivitas metode pembelajaran[3]. Pembaruan efektivitas metode pembelajaran dimaksudkan bahwa harus ada upaya terobosan untuk mencari strategi dan metode pembelajaran yang efektif oleh guru di dalam kelas.
Pada saat ini kita masih sering melihat model pembelajaran yang konvensional berlangsung di berbagai lembaga pendidikan. Sebuah sistem dimana guru selalu ditempatkan sebagai pihak ”serba bisa” yang berkuasa sepenuhnya untuk mentransfer berbagai ilmu pengetahuan dan memberikan doktrin-doktrin. Sementara itu, siswa sebagai obyek penerima ilmu pengetahuan harus melaksanakan segala doktrin yang disampaikan oleh guru tanpa boleh membantah. Ketika mengajar di kelas, sang guru seolah-olah mempunyai hak penuh untuk berbicara, sementara siswa harus diam mendengarkan dengan baik tanpa diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kritisnya.
Kondisi guru yang demikian dominan setidaknya berakibat kepada lahirnya superioritas guru dan minimnnya input dari pihak lain demi perbaikan kinerja guru. Hal ini bisa difahami, sebab semakin superior seorang guru, maka ada ”ketakutan” dari pihak lain untuk memberikan masukan kepada guru tersebut. Akibat selanjutnya mereka tidak pernah mengetahui apakah pembelajaran yang dilakukan sudah benar dan baik, demikian juga apakah metode yang mereka lakukan telah efektif bisa diterima oleh siswa atau belum.
Fenomena guru diatas, tidak bisa dipungkiri terjadi juga pada guru-guru PAI (Pendidikan Agama Islam) yang mengajar di sekolah umum (non agama). Melihat kenyataan ini, perlu kiranya kita mencari solusi pemecahan yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pertanyaannya sekarang adalah sistem pengajaran yang bagaimanakah yang dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita? Strategi dan metode pengajaran yang bagaimanakah yang dapat dijadikan alternatif terbaik untuk anak didik kita?
Dalam konteks inilah Lesson Study diyakini mampu meningkatkan profesionalisme pendidik, sebab Lesson Study merupakan model pembinaan profesi pendidik secara kolaboratif dan berkesinambungan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Dengan kata lain, Lesson Study diyakini mampu menjadi lokomotif penggerak gerbong pendidikan. Konon, Jepang sebagai negeri asal Lesson Study (Jugyokenkyu), mampu menjadi kiblatnya reformasi pendidikan bagi banyak negara maju, salah satunya karena menjadikan Lesson Study sebagai budaya dan basis pembelajaran yang terus-menerus dikembangkan.







BAB II
PEMBAHASAN
MANAJEMEN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLA DISEKOLAH
A. Pentingnya Lesson Study Bagi Pembelajaran PAI
Selama pendidikan masih ada, maka selama itu pula masalah-masalah tentang pendidikan akan selalu muncul dan orang pun tak akan henti-hentinya untuk terus membicarakan dan memperdebatkan tentang keberadaannya, mulai dari hal-hal yang bersifat fundamental-filosofis sampai dengan hal-hal yang sifatnya teknis-operasional. Sebagian besar pembicaraan tentang pendidikan terutama tertuju pada bagaimana upaya untuk menemukan cara yang terbaik guna mencapai pendidikan yang bermutu dalam rangka menciptakan sumber daya manusia yang handal, baik dalam bidang akademis, sosio-personal, maupun mental-spiritual.
Salah satu masalah atau topik pendidikan yang belakangan ini menarik untuk diperbincangkan yaitu tentang Lesson Study, yang muncul sebagai salah satu alternatif guna mengatasi masalah praktik pembelajaran yang selama ini dipandang kurang efektif. Seperti dimaklumi, bahwa sudah sejak lama praktik pembelajaran di Indonesia termasuk pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) pada umumnya cenderung dilakukan secara konvensional yaitu melalui teknik komunikasi oral dengan didominasi metode ceramah.
Dalam kasus pembelajaran PAI, praktik pembelajaran konvesional semacam ini lebih cenderung menekankan pada bagaimana guru mengajar (teacher-centered) dari pada bagaimana siswa belajar (student-centered), dan secara keseluruhan hasilnya dapat kita maklumi yang ternyata tidak banyak memberikan kontribusi signifikan bagi peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran siswa. Untuk merubah kebiasaan praktik pembelajaran dari pembelajaran konvensional ke pembelajaran yang berpusat kepada siswa memang tidak mudah, terutama di kalangan guru yang tergolong pada kelompok laggard (penolak perubahan/inovasi). Dalam kondisi seperti ini, Lesson Study tampaknya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif guna mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Indonesia menuju ke arah yang jauh lebih efektif.
Catherine Lewis[8], berdasarkan hasil observasinya terhadap berbagai implementasi Lesson Study mengemukakan nilai positif implementasi Lesson Study antara lain:
1. Tujuan bersama untuk jangka panjang. Lesson study didahului adanya kesepakatan dari para guru tentang tujuan bersama yang ingin ditingkatkan dalam kurun waktu jangka panjang dengan cakupan tujuan yang lebih luas, misalnya untuk materi pembelajaran PAI tentang pengembangan sikap toleransi dan empati, pengembangan akhlakul karimah, pengembangan kesalehan individual dan sosial siswa, pengembangan kemampuan akademik siswa terhadap mata pelajaran PAI yang bersifat pemahaman konsep, pengembangan pembelajaran yang menyenangkan, mengembangkan kreatifitas dan kerajinan siswa dalam belajar, dan sebagainya.
2. Materi pelajaran yang penting. Lesson study memfokuskan pada materi atau bahan pelajaran yang dianggap penting dan menjadi titik lemah dalam pembelajaran siswa serta sangat sulit untuk dipelajari siswa. Untuk materi PAI misalnya tema-tema yang terkait dengan praktik fiqih seperti praktik berwudlu’, sholat, haji dan lain sebagainya yang sangat penting dipahami dan dikuasai siswa terlebih dahulu.
3. Studi tentang siswa secara cermat. Fokus yang paling utama dari Lesson Study adalah pengembangan dan pembelajaran yang dilakukan siswa, misalnya, apakah siswa menunjukkan minat dan motivasinya dalam belajar PAI, bagaimana siswa bekerja dalam kelompok kecil dalam mendiskusikan sebuah tema dalam materi PAI, bagaimana siswa melakukan tugas-tugas PAI yang diberikan guru, serta hal-hal lainya yang berkaitan dengan aktivitas, partisipasi, serta kondisi dari setiap siswa dalam mengikuti proses pembelajaran PAI. Dengan demikian, pusat perhatian tidak lagi hanya tertuju pada bagaimana cara guru dalam mengajar PAI sebagaimana lazimnya dalam sebuah supervisi kelas yang dilaksanakan oleh kepala sekolah atau pengawas sekolah.

4. Observasi pembelajaran secara langsung. Observasi langsung boleh dikatakan merupakan jantungnya Lesson Study. Untuk menilai kegiatan pengembangan dan pembelajaran PAI yang dilaksanakan siswa tidak cukup dilakukan hanya dengan cara melihat dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Lesson Plan) atau hanya melihat dari tayangan video, namun juga harus mengamati proses pembelajaran PAI secara langsung di kelas nyata. Dengan melakukan pengamatan langsung, data yang diperoleh tentang proses pembelajaran PAI akan jauh lebih akurat dan utuh, bahkan sampai hal-hal yang detil sekali pun dapat digali. Penggunaan videotape atau rekaman bisa saja digunakan hanya sebatas pelengkap, dan bukan sebagai pengganti.
Dalam konteks pembelajaran Pendidikan Agama Islam, diyakini bahwa praktek dan implementasi pola Lesson Study secara berkelanjutan akan mampu meningkatkan profesionalisme guru-guru PAI yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kualitas pembelajaran Pendidikan Agama Islam itu sendiri. Oleh karena itu, implementasi Lesson Study untuk pembelajaran Pendidikan Agama Islam merupakan terobosan strategis dalam peningkatan kualitas pembelajaran PAI yang mutlak segera dijadikan sebagai tradisi peningkatan mutu pembelajaran.



B. Implementasi Lesson Study dalam Pembelajaran PAI
Untuk dapat memulai kegiatan lesson study dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam maka diperlukan perubahan dari dalam diri guru PAI itu sendiri sehingga –paling tidak- memiliki sikap sebagai berikut:
1. Semangat introspeksi terhadap apa yang sudah dilakukan selama ini terhadap proses pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mengajukan pertanyaan terhadap diri sendiri dengan pertanyaan seperti:
a. Apakah saya sudah melakukan tugas sebagai guru PAI dengan baik?
b. Apakah pembelajaran PAI yang saya lakukan telah sesuai dengan kompetensi yang diharapkan akan dicapai siswa?
c. Apakah saya telah membuat siswa merasa jenuh dengan pembelajaran PAI saya?
d. Adakah strategi-strategi lain yang lebih baik yang bisa digunakan untuk melaksanakan pembelajaran PAI ini selain strategi yang biasa saya gunakan?
e. Apakah ada alternatif kegiatan belajar lain yang juga cocok untuk pembelajaran PAI ini?
f. Adakah media pembelajaran yang lebih baik yang dapat dipakai untuk pembelajaran PAI ini selain media pembelajaran yang biasa saya gunakan?
g. Mengapa siswa saya tidak termotivasi untuk mengikuti pembelajaran PAI dari saya?
h. Apakah selama ini saya telah menggunakan instrumen evaluasi PAI yang tepat?
i. dan lain-lain[9].
2. Serangkaian pertanyaan tersebut harus dijawab dengan jujur oleh setiap guru PAI yang ingin terlibat/dilibatkan dalam kegiatan lesson study. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas tentu akan mendorong guru PAI pada proses pencarian cara untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan PBM-nya selama ini.
3. Keberanian membuka diri untuk dapat menerima saran dari orang lain untuk peningkatan kualitas diri.
4. Keberanian untuk mengakui kesalahan diri sendiri.
5. Keberanian untuk mau mengakui dan memakai ide orang lain yang baik.
6. Keberanian memberikan masukan yang jujur dan penuh penghormatan

Jika guru PAI yang terlibat dalam kegiatan lesson study sudah memiliki atau menyadari pentingnya sikap-sikap di atas, maka langkah selanjutnya adalah memfokuskan kegiatan lesson study dengan cara menyepakati tema permasalahan dan pembelajaran yang akan diangkat dalam kegiatan. Kemudian kelompok lesson study dapat membuat perencanaan pembelajaran PAI yang akan dilakukan. Perencanaan pembelajaran ini dituangkan dalam bentuk perangkat pembelajaran dan lembar instrumen observasi pengumpulan data PBM.
Penyusunan lembar observasi untuk mengumpulkan data PBM merupakan suatu elemen penting lesson study yang didasarkan pada rencana pembelajaran yang disusun. Lembar observasi ini akan memandu pengamat untuk memperhatikan aspek-aspek khusus yang menjadi fokus kegiatan lesson study. Pengumpulan data dari hasil observasi PBM ini biasanya terkait dengan suasana kelas, ketercapaian tujuan pembelajaran, keterlaksanaan langkah-langkah pembelajaran yang telah direncanakan, hambatan-hambatan yang muncul saat PBM berlangsung, antusiasme siswa, dsb.
Perangkat pembelajaran adalah sejumlah bahan, alat, media, petunjuk dan pedoman yang akan digunakan dalam proses pembelajaran atau digunakan pada tahap tindakan (do) dalam kegiatan lesson study. Karena lesson study adalah kegiatan yang direncanakan, dilakukan dan dinilai bersama oleh kelompok, maka perlu disadari betul bahwa keberhasilan dan kegagalan PBM adalah tanggung jawab bersama semua anggota kelompok. Oleh karena itu tujuan utama penyusunan perangkat pembelajaran adalah agar segala sesuatu yang telah direncanakan bersama dapat tercapai.
Adapun perangkat pembelajaran yang disusun dalam tahap perencanaan (plan) suatu kegiatan lesson study meliputi:
1. Rencana Pembelajaran. Adapun komponen rencana pembelajaran PAI adalah:
1. Standar kompetensi dan kompetensi dasar, dalam hal ini kita harus memilih dari kurikulum PAI.
2. Pokok bahasan, dipilih dari kurikulum PAI.
3. Indikator, disusun sendiri oleh kelompok guru PAI dan dijabarkan dari standar kompetensi.
4. Model Pembelajaran, dipilih sesuai penekanan kompetensi dan materi.
5. Skenario pembelajaran, berisi urutan aktivitas pembelajaran siswa dan mencerminkan pilihan model Pembelajaran.
6. Urutan Metode Pembelajaran, disesuaikan dengan aktivitas siswa dan model pembelajaran.
7. Media pembelajaran, dipilih dan di urutkan sesuai skenario pembelajaran.
8. Instrumen evaluasi meliputi kognitif, afektif dan psikomotorik
2. Lembar Kerja Siswa ( LKS)
Berisi langkah- langkah kegiatan belajar siswa. LKS yang di susun dapat bersifat panduan tertutup yang dapat dikerjakan siswa, sesuai dengan tuntunan yang ada, atau dapat juga LKS yang bersifat semi terbuka. LKS model ini memberi peluang bagi siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, walaupun masih ada peranan guru dalam memberikan arahan. LKS dapat juga berupa modul pembelajaran PAI. LKS model apapun yang di susun harus mampu memberikan panduan agar siswa dapat belajar dengan benar, baik dari segi proses keilmuan maupun dalam memperoleh konsep.
3. Teaching Guide (Panduan Guru )
Dalam Lesson study pembelajaran PAI perencanaan dibuat oleh kelompok guru PAI, namun pelaksanaannya tetap di lakukan oleh seorang guru. Agar apa yang direncanakan sesuai dengan yang dilaksanakan, maka perlu adanya pedoman/petunjuk guru. Panduan guru ini biasanya berisi bagaimana guru harus mengorganisasi siswa, mengunakan LKS, memimpin diskusi sampai bagaimana guru harus mengevaluasi.
C. Media Pembelajaran
Media pembelajaran yang dipergunakan dalam proses pembelajaran PAI di dapat berupa perangkat lunak seperti: lembar transparansi, gambar, CD maupun perangkat keras seperti : OHP, LCD, VCD Player, piranti demonstrasi ataupun piranti ekperimen. Perlu digarsibawahi bahwa Lesson Study melibatkan banyak orang, dalam kaitannya dengan manajemen waktu dan media pembelajaran, maka guru harus benar- benar melakukan uji waktu sebelum tampil, apalagi jika menggunakan perangkat untuk demonstrasi atau eksperimen.

MANAJEMEN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH

MANAJEMEN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH
A. PENGERTIAN MANAJEMEN
Secara luas orang sudah banyak mengenal tentang istilah manajemen, hakekat manajemen secara relatif yaitu bagaimana sebuah aktivitas bisa berjalan lebih teratur berdasarkan prosedur dan proses. Secara umum dikatakan bahwa manajemen merupakan proses yang khas terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya.
Dua pelopor uama yang selalu disebut dalam semua literatur tentang mana jemen adalah Frederick W. Taylor di Amerika Serikat dan Heri Fayol di Perncis. Kedua plopor tersebut adalah Sarjana Teknik. Sejarah telah mencatat pula bahwa seiring dengan bertumbuhnya berbagai bentuk organisasi, maka banyak ilmuwan yang menaruh minat pada penggalian dan penumbuhan teori manajemen yang, digabung dengan pengalaman makin banyak orang, semakin menimbulkan kesadaran bahwa manusia dalam organisasi apapun tidak dapat dan tidak boleh diperlakukan sebagai mesin. Dengan perkataan lain semakin disadari bahwa sumber daya manusia idak dapat disamakan dengan alat-alat produksi lainnya.
Para pakar Administrasi Pendidikan seperti Sergiovanni, Burlingame, Coombs, dan Thurston (1987) dalam Ibrahim Bafadal mendefinisikan manajemen sebagai “process of working with and through others to accomplish organizational goals efficiently, yaitu proses kerja dengan dan melalui (pendayagunaan) orang lain untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien”. Oleh karena definisinya itu, banyak pakar administrasi pendidikan yang berpendapat bahwa manajemen itu merupakan proses, terdiri atas kegiatan-kegiatan dalam upaya mencapai tujuan kerjasama (administrasi) secara efisien.
Gaffar dalam E. Mulyasa mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerjasama yang sistematik, sistemik, dan komperhensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Atas dasar uraian diatas, kajian tentang hakikat manajemen, selain ditinjau dari definisinya sebagaimanan dikemukakan diatas, juga perlu dikaji lebih lanjut dari;
1. proses atau langkah-langkah manajemen,
2. tujuan manajemen.






Menurut Gorton dalam Ibrahim Bafadal manajemen itu pada hakikatnya merupakan proses pemecahan masalah, sehingga langkah-langkah manajemen tidak ubahnya sebagai langkah-langkah pemecahan masalah. Gorton mengidentifikasikan langkah-langkah manajemen sebagai berikut:
1. Identifikasi masalah
2. Diagnosis masalah
3. Penetapan tujuan
4. Pembuatan keputusan
5. Perencanaan
6. Pengorganisasian
7. Pengkoordinasian
8. Pendelegasian
9. Penginisiasian
10. Pengkomunikasian
11. Kerja dengan kelomnpok-kelompok
12. Penilaian.

Manajemen yang sering diartikan sebagai ilmu, seni, dan profesi. Dikatakan sebagai ilmu oleh Luther Gulick karena manajemen dipandang sebagai suatu bidang pengetahuan yang secara sistematik berusaha memahami mengapa dan bagaimana orang bekerja sama. Dikatakan sebagai seni oleh Follet karena manajemen mencapai sasaran melalui cara-cara dengan mengatur orang lain menjalankan dalam tugas. Dipandang sebagai profesi karena manajemen dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer dan para profesional dituntun oleh suatu kode etik.

B. Pengertian Pembelajaran
Konsep dasar pembelajaran dirumuskan dalam Pasal 1 butir 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yakni “Pembelajaran adalah proses intraksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Dalam konsep tersebut terkandung lima konsep, yakni interaksi, peserta didik, pendidik, sumber belajar, dan lingkungan belajar.
Untuk memperoleh pengertian yang objektif tentang belajar atau pembelajaran terutama belajar disekolah, perlu dirumuskan secara jelas pengertian belajar. Menurut pengertian secara psikologis, “belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil darai intraksi dengan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku”.
James O. Whittaker dalam Syaiful Bahri Djamarah merumuskan belajar sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah selalui latihan atau pengalaman. Sementara Cronbach berpendapat bahwa “learning is shown by change in behavior as a result of experience. belajar sebagai suatu aktivitas yang ditujukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman”.
Sedangkan pembelajaran merupakan istilah baru yang digunakan untuk menunjukan kegiatan guru dan siswa. Sebelumnya, kita menggunakan istilah “proses belajar-mengajar” dan “pengajaran”. Istilah pembelajaran merupakan terjemahan dari kata “intruction”. Menurut Gane, Briggs, dan Wager (1992) “Intruction is a set of event that affect learner is such a way that learning is facilitated. Pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa”.
Definisi lain mengatakan bahwa pembelajaran merupakan kegiatan guru secara terprogram dalam desain intruksional, untuk membuat sisiwa belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Menurut kamus, pembelajaran berarti proses, cara menjadikan orang untuk makhluk hidup belajar.
Lebih jelasnya lagi Najib Sulhan dalam bukunya Pembangunan Karakter Pada Anak (Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif) memberikan definisi pembelajaran, bahwa pembelajaran adalah suatu sistem atau proses membelajarkan subjek didik atau pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subjek didik atau pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.



C. Pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI)
Islam adalah doktrin agama, yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya melalui para Rasul. Dalam Islam memuat sejumlah ajaran, yang tidak sebatas pada aspek ritual, tetapi juga mencakup aspek peradaban. Dengan misi utamanya adalah sebagai rahmatan lil ‘alamin, Islam hadir dengan menyuguhkan tata nilai yang bersifat plural dan inklusif yang merambah ke dalam semua ranah kehidupan.
Berikut bebrapa pengetian pendidikan agama Islam yang penulis kutif dari berbagai sunber:
1. Berdasarkan rumusan Seminar Pendidikan Islam se Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian “Pendidikan Islam sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengasawi berlakunya semua ajaran Islam.
2. Menurut Ramayulis Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadara dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur’an dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran latihan, serta penggunaan pengalaman.
3. Menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriono “Pendidikan Agama Islam adalah usaha yang lebih khusus dan ditekankan pada pengembangan fitrah keberagamaan dan sumber daya insani lainnya agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengajarkan ajaran Islam”.
4. Oemar Muhamamd Al-Toumy Al-Syaebani diartikan sebgai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan….perubahan itu ditandai dengan nilai-nilai Islami.

Definisi lain menjelaskan pembelajaran adalah seperangkat kejadian yang mempengaruhi siswa dalam situasi belajar. Sedangkan pengertian pembelajaran pendidikan agama Islam adalah suatu proses yang bertujuan untuk membantu siswa dalam belajar agama Islam. Dalam pembelajaran PAI harus di dasarkan pada pengetahuan siswa yang belajar dan lebih sering difokuskan bagi suatu materi ada kepentingan antara panjangnya materi pelajaran yang tercampur atau tidak tercampur dengan spesifikasi apa yang harus dimunculkan.
Pembelajaran PAI ini juga harus menjadi sesuatu yang direncanakan dari pada hanya sekedar asal jadi. Pembelajaran PAI ini akan lebih membantu siswa dalam memaksimalkan kecerdasan yang siswa miliki, menikmati kehidupan, serta kemampuan untuk berinteraksi secara fisik dan social terhadap lingkungan.
Dari pengertian manajemen dan pembelajaran diatas, dapat disimpulkan pengertian manajemen pembelajaran ialah suatu proses penyelenggaraan interaksi peserta didik dengan seorang guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efesien.


D. Fungsi Manajemen Pembelajaran
Fungsi manajemen memang banyak macamnya dan selalu berkembang maju, baik dalam bentuk penambahan maupun pengurangan sesuai dengan perkembangan teori organisasi dari waktu ke waktu dan disesuaikan dengan kebutuhan organisasi pada waktu bersangkutan.
Untuk mencapai tujuannya, organisasi memerlukan dukugan manajemen dengan berbagai fungsinya yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi masing-masing.
Menurut Oemar Hamalik fungsi manajemen antara lain; fungsi perencanaan, pengerakan, pengorganisasian, koordinasi, supervisi, pemantauan, ketenangan dan penilaian serta kepemimpinan yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi itu.
Menurut E. Mulyasa fungsi poko manajemen antara adalah “perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pembinaan”. Pelaksanaan manajemen sekolah yang efektif dan efisien menuntut dilaksanakannya keempat fungsi pokok manajemen tersebut secara terpadu dan terintegrasi dalam pengelolaan bidang-bidang kegiatan menajemen pendidikan. Melalui manajemen sekolah diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Dari fungsi manajemen yang ada diatas, apabila dikaitkan dengan pembelajaran maka fungsi manajemen pembelajaran adalah :
a. Merencanakan, adalah pekerjaan seorang guru untuk menyusun tujuan belajar.
b. Mengorganisasikan adalah kegiatan seorang guru untuk mengatur dan menghubungkan sumber-sumber belajar, sehingga dapat mewujudkan tujuan belajar dengan cara yang paling efektif dan efisien.
c. Memimpin adalah kegiatan seorang guru untuk memotivasikan, mendorong dan menstimulasikan siswanya sehingga mereka akan siap untuk mewujudkan tujuan.
d. Mengawasi adalah kegiatan seorang guru untuk menentukan apakah fungsinya dalam mengorganisasikan dan memimpin diatas telah berhasil dalam mewujudkan tujuan yang telah dirumuskan.
Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil penelitian Balitbangdikbut (1991) menunjukkan bahwa manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan.
Dari pengertian manajemen pembelajaran dan fungsi manajemen pembelajaran dapat disimpulkan bahwa seorang guru dengan sengaja memproses dan menciptakan suatu lingkungan belajar didalam kelasnya dengan maksud untuk mewujudkan pembelajaran yang sudah di rumuskan sebelumnya.

















DAFTAR PUSTAKA

Nana Sudjana dan Ibrahim, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, (Bandung: Sinar Baru, 1989),
Lexy J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosdakarya, 2009), cet XXIII,
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996),
Lexy J. Moeleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009),
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitia, Edisi Revisi, (Yogyakarta : Rineka Cipta, 2006), cet. XIII
Sumardi Suryosubroto, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983),

Jumat, 27 Agustus 2010

PENCANGKOKAN ORGAN TUBUH


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, kami ucapakan. Segala puji bagi Allah swt.yang telah memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah kami ini dan atas nikmat-NYA pula kita masih dapat sama-sama berkumpul di tempat dan waktu yang sama ini.
Shalawat beriring salam tak lupa kami hanturkan kepada Nabi Muhammad saw.yang telah mengangkat derajat kaum muslim dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang pendidikan. Dan kelurga serta sahabat Rasul semoga di ridhoi Allah swt.
Kami sangat yakin bila dalam penulisan makalah kami ini masih banyak terdapat kekurangan karena ibarat pepatah “Tak ada gading yang tak retak” maka kami mohon maaf atas segala kekurangan baik dalam penulisan maupun dalam penyajian makalah ini.
Akhir kata, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari kawan-kawan sekalian dan khususnya dari dosen pembimbing mata kuliah Masail Fiqhiyah










BAB I
PENDAHULUAN
Mengganti organ tubuh yang sakit atau rusak sama sekali bukanlah inovasi abad modern. Dalam sebuah literature hadis juga dituturkan peristiwa ‘Ufrajah, seorang sahabat Nabi saw.kehilangan hidung ketika berperang dan diganti dengan hidung palsu seperti perak. Hidungn buatannya itu kemudian menimbulkan bau yang tidak sedap, sehingga ia meminta nasihat Nabi saw.kemudian Nabi menganjurkan untuk segera mengganti hidung perak itu dengan bahan emas.1 Namun, transplantasi suatu organ tubuh dari spesies yang sama belum pernah terjadi sampai pada tahun 1913, yaitu ketika Dr. Alexis Carrel, seorang ahli bedah dari Prancis, berhasil melakukan transplantasi ginjal seekor kucing pada kucing lain. Sampai pada akhirnya, Prof. Christiaan N. Barnard beserta tim ahli bedahnya dari Afrika Selatan pada tanggal 3 Desember 1967 berhasil melakukan pemindahan jantung dari seorang wanita berusia 24 tahun untuk seseorang berusia 54 tahun.
Sedangkan tranpusi darah pertama kali dilakukan oleh Dr. James Blundell pada tahun 1818 dari RS. St. Thomas and Guy. Ia berhasil melakukan transfuse darah dari manusia ke manusia setelah ia berhasil menemukan alat transpusi darah secara langsung.
Begitulah singkatnya sejarah mengenai transplantasi organ tubuh dan transpusi darah. Dan sampai sekarang masih dilakukan di dunia kedokteran di berbagai penjuru dunia.
Terlepas dari sejarah singkat transplantasi (pencangkokan)organ tubuh dan transpusi darah, maka pada kali ini pembahasan makalah mata kuliah “Masail Fiqhiyah” ini adalah mengenai permasalahan hukum pencangkokan jantung, ginjal, mata, transpusi darah dan bedah mayat.
BAB II
PEMBAHASAN
PENCANGKOKAN ORGAN TUBUH
  1. TRANSPLANTASI (PENCANGKOKAN) JANTUNG, GINJAL, MATA
Transplantasiadalah pemindahan organ tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik.
Pencangkokan organ tubuh yang menjadi pembicaraan pada waktu ini adalah : mata, ginjal, dan jantung, karena ketiga organ tersebut sangat penting fungsinya untuk manusia, terutama sekali ginjal dan jantung.
Orang yang menderita penyakit mata, ginjal, dan jantung, tentu
mengharapkan uluran tangan dari para donor, yaitu donor mata, ginjal, dan
jantung.. Para donor yang kita kenal sekarang ini, lebih banyak dari kalangan
orang yang sudah meninggal dunia dan tidak banyak dari orang yang masih hidup.
B.    Hukum Pencangkokan Jantung, Ginjal, Mata
Masalah pencangkokan jantung biasanya dilakukan pada oaring dewasa,yang pada umumnya sudah berumur 40-50 tahun. Yaitu penderita yang pernah terserang demam rematik atau penyakit khas lainnya, yang berakibat terjadinya penyakit jantung.
Pada dasarnya, agama Islam membolehkan pencangkokan jantung pada pasien sebagai salah satu upaya pengobatan penyakit, yang sebenarnya dianjurkan dalam Islam.
Masalah donor mata, terjadi dua pendapat di kalangan fuqaha. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkannya dengan mengemukakanalasan masing-masing; seperti:
1)     Bagi ulama yang mengharamkannya; mendasarkan pendapatnya pada
hadist yang Artinya: “Sesungguhnya pecahnya tulang mayat (bila dikoyak- koyak), seperti (sakitnya dirasakan mayat) ketika pecah tulangnya di waktu ia masih hidup.” H.R. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah yang bersumber dari Aisyah.
2)     Bagi ulama yang membolehkannya; mendasarkan pendapatnya pada hajat (kebutuhan) orang yang buta untuk melihat. Maka perlu ditolong agar dapat terhindardari kesulitan yang dialaminya, dengan cara donor mata dari mayat. Berdasarkan pada qaidah fiqhiyah yang berbunyi: Artinya: “Kesulitan (yang dialami manusia), boleh diupayakan untuk mendapatkan kemudahan.”
Dan ayat al-Qur’an memberikan petunjuk umum yang terdapat pada ayat
yang artinya berbunyi: “…………….dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan suatu kesulitan untuk kamu dalam agama….” (Q.S. al-Hajj :78)
Sedangkan masalah pencangkokan ginjal, apabila yang bersumber dari manusia baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, disepakati oleh kebanyakan ulama hukum Islam tentang kebolehannya bila dicangkokan kepada pasien yang membutuhkannya, karena dianggap sangat dibutuhkan dan bahkan
darurat. Kedua alasan inilah yang membolehkannya, sebagaimana qaidah fiqhiyah
diatas. Namun, ulama hukum Islam masih memperdebatkan mengenai ginjal yang
diambil dari binatang (babi).
Secara prinsip syariah secara global, mengingat transplantasi organ merupakan suatu tuntutan, kebutuhan dan alternatif medis modern tidak ada perselisihan dalam hal bolehnya transplantasi organ ataupun jaringan. Dalam simposium Nasional II mengenai masalah “Transplantasi Organ” yang telah diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal Nasional pada tangal 8 September 1995 di arena PRJ Kemayoran, telah ditandatangani sebuah persetujuan antara lain wakil dari PB NU, PP Muhammadiyah, MUI disetujui pula oleh wakil-wakil lain dari berbagai kelompok agama di Indonesia. Bolehnya transplantasi organ tersebut juga ditegaskan oleh DR. Quraisy Syihab bahwa; “Prinsipnya, maslahat orang  yang hidup lebih didahulukan.” selain itu KH. Ali Yafie juga menguatkan bahwa pada kaedah ushul fiqh yang dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu “hurmatul hayyi a’dhamu min hurmatil mayyiti” (kehormatan orang hidup lebih besar keharusan pemeliharaannya daripada yang mati.)
Lebih rinci, masalah transplantasi dalam kajian hukum syariah Islam diuraikan menjadi dua bagian besar pembahasan yaitu :Pertama : Penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari tubuh yang sama.Kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu lain.
Masalah pertama yaitu seperti praktek transplantasi kulit dari suatu bagian tubuh ke bagian lain dari tubuhnya yang terbakar atau dalam kasus transplantasi penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah jantung dengan mengambil pembuluh darah pada bagian kaki. Masalah ini hukumnya adalah boleh berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya seseorang untuk memotong bagian tubuhnya yang membahayakan keselamatan jiwanya karena suatu sebab.
Adapun masalah kedua yaitu penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain maka dapat kita lihat persoalannya apabila jaringan/organ tersebut diambil dari orang lain yang masih hidup, maka dapat kita temukan dua kasus.
Kasus Pertama : Penanaman jaringan/organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak. Maka hukumnya adalah tidak boleh yaitu berdasarkan firman Allah Swt dalam al- Qur’an surat Al-Baqarah:195, An-Nisa’:29, dan Al-Maidah:2 tentang larangan menyiksa ataupun membinasakan diri sendiri serta bersekongkol dalam pelanggaran.
Kasus kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh ganda diantaranya ginjal atau kulit. Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan selama memenuhi persyaratannya yaitu:
1)     Tidak membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donatur jaringan/organ. Karena kaidah hukum islam menyatakan bahwa suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan resiko mendatangkan bahaya serupa/sebanding.
2)     Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak boleh diperjual belikan.
3)     Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar- benar darurat.
4)     Boleh dilakukan bila peluang keberhasilan transplantasi tersebut sangat besar.

Dalam buku “Fatwa-fatwa Kotemporer” Dr. Yusuf Qharhawi mengatakan “adapun mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim kepada orang muslim tidak terlarang, karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah.”
C.    TRANSPUSI DARAH
Transfusi darahadalah penginjeksian darah dari seseorang (donor) ke dalam system peredaran darah seseorang yang lain (resipien). Menurut Dr. Rustam Masri, transfusi darah adalah proses pekerjaan pemindahan darah dari orang yang sehat kepada orang yang sakit, yang bertujuan untuk:
Menambah jumlah darah yang beredar dalam badan orang yang sakit yang
darahnya berkurang karena sesuatu sebab, misalnya pendarahan, operasi, kecelakaan dan sebab lainnya. Menambah kemampuan darah dalam badan si sakit untuk menambah/membawa zat asam. Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan donornya mengenai agama/kepercayaan, suku bangsa, dan sebagainya.
Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah: “dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan
manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah:32).
Hubungan Antara Donor Dengan Resipien (Penerima)  Transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Karena itu, jika si donor dan resipien ingin mengadakan hubungan perkawinan, maka tidak ada larangan dalam agama Islam. Sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23, yaitu: Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya  hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan sebagainya, danmahram karena adanya hubungan persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan sebagainya.
Kemudian pada ayat berikutnya, (an-Nisa:24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita yang tersebut pada An-Nisa:23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak ada hubungan kemahraman. Maka jelaslah bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara pendonor dengan resipien. Karena itu perkawinan antara pendonor dengan resipien itu diizinkan oleh hukum Islam.
Hendaknya diingat, bahwa bila tidak hati-hati dalam penanganan transfusi darah ini, maka akan ada resiko bagi resipien. Sebab itu secara medis harus diperhatikan pengaruhnya, misalnya setiap donor harus terhindar dan bebas dari segala macam penyakit yang dapat mengganggu kesehatan resipien. Agama Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan dan bukan komersial. Darah itu dapat disumbangkan secara langsung kepada yang memerlukannya.
Para resipien hendaknya tidak usah mempertanyakan tentang donor, apakah seagama dengan dia atau tidak. Demikian juga sebaliknya si donor pun tidak usah mempersoalkan tentang penggunaan darah tersebut.  Sebagai dasar hukum yang membolehkan donor darah ini, dapat dilihat  dalam kaidah hukum Islam berikut:  Bahwa pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh(mubah), kecuali ada  dalil yang mengharamkannya. Berdasarkan kaidah diatas, maka hukum donor darah itu diperbolehkan, karena tidak ada dalil yang melarangnya, baik Al-Qur'an maupun hadits. Namun demikian tidak berarti, bahwa kebolehan itu dapat dilakukan tanpa syarat, bebas lepas begitu saja. Sebab bisa saja terjadi, bahwa sesuatu yang pada awalnya diperbolehkan, tetapi karena ada hal-hal yang dapat membahayakan resipien,
maka akhirnya menjadi terlarang. maka berarti transfusi darah diperbolehkan,
bahkan donor darah itu ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan
Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia.
Jelas bahwa persyaratan dibolehkannya transfusi darah itu berkaitan
dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus
dipenuhi, karena adanya kaidah-kaidah fiqih seperti: “Adh-Dhararu Yuzal
(Bahaya itu harus dihilangkan/ dicegah). Misalnya bahaya penularan penyakit
harus dihindari dengan sterilisasi, dsb., “Ad-Dhararu La Yuzalu Bidharari Mitslihi” (Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain). Misalnya  seorang yang memerlukan transfusi darah karena kecelakaan lalu lintas atau
operasi, tidak boleh menerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa
mendatangkan bahaya lainnya yang lebih fatal. Dan Kaedah “La Dharara wa La Dhirar” (Tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula  membuat mudarat kepada orang lain). Kaidah terakhir ini berasal dari hadits
riwayat Malik, Hakim, Baihaqi, Daruquthni dan Abu Said al-Khudri. Dan riwayat
Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit.

C. BEDAH MAYAT
Bedah mayat adalah suatu upaya tim dokter ahli untuk membedah mayat karena ada suatu maksud atau kepentingan tertentu. Bedah mayat tidak boleh
dilakukan oleh sembarang orang, walaupun hanya sekedar mengambil barang dari
tubuh (perut) mayat. Sebab, manusia harus dihargai kendatipun ia sudah menjadi
mayat.
Diantara tujuan yang terpenting bedah mayat adalah :
1)     Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat.
2)     Untuk mengeluarkan benda yang berharga dari tubuh mayat.
3)     Untuk kepentingan penegakkan hukum.
4)     Untuk kepentingan penelitian ilmu kedokteran.

Tujuan bedah mayat yang telah dikemukakan diatas, perlu dikaitkan
dengan hukum Islam, agar orang yang melaksanakannya tidak merasa ragu-ragu
dan dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
a.      Menyelamatkan janin
Seorang wanita hamil, yang meninggal dunia, tidak boleh dikuburkan
sebelum jelas betul atau sebelum terbukti, bahwa bayi yang dikandungnya itu juga meninggal, berdasarkan keterangan bidan atau dokter ahli. Hal ini dilakukan terhadap janin yang sudah berumur tujuh bulan atau lebih.
Dalam hal ini, Islam membolehkan membedah mayat yang didalam rahimnya terdapat janin yang masih hidup.
b.     Mengeluarkan benda yang berharga dari perut mayat
Bedah mayat wajib hukumnya apabila dalam perutnya ada batu permata (barang berharga) milik orang lain.



    1. Menegakkan kepentingan hukum
Peralatan modern kadang-kadang sulit juga membuktikan sebab-sebab kematian seseorang dengan hanya penyelidikan dari luar tubuh mayat. Kesulitan tersebut, cukup menjadi alas an untuk membolehkan membedah mayat sebagai bahan penyelidikan,
Karena sangat diperlukan dalam penegakkan hukum, dan sesuai dengan kaidah fiqhiyyah: Tidak haram bila darurat dan tidak makruh karena hajat
    1. Memperhatikan kepentingan pendidikan dan keilmuan
Diantara ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran ialah ilmu tentang susunan tubuh manusia yang disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori dalam ilmu kedokteran tersebut, tentu dengan jalan praktek langsung terhadap manusia. Otopsi menurut teori kedokteran atau bedah mayat, merupakan syarat yang amat penting bagi seorang calon dokter, dalam memanfaatkan ilmunya
kelak.
Sekiranya mayat itu diperlukan sebagai sarana penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran, maka menurut hukum islam, hal ini dibolehkan, karena pengembangan ilmu kedokteran bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia.




Sedangkan para ulama fiqh, berbeda pendapat mengenai hukum bedah mayat, sebagaimana terlihat pada uraian berikut
1)     Imam Ahmad Bin Hambali
Seorang yang sedang hamil kemudian ia meninggal dunia, maka perutnya  tidak perlu dibedah, kecuali sudah diyakini benar bahwa janin itu masih hidup.
2)     Imam Syafi'i
Jika seorang hamil, kemudian dia meninggal dunia, dan ternyata janinnya  masih hidup, maka perutnya boleh dibedah untuk mengeluarkan janinnya.
3)     Imam Malik
Seorang yang meninggal dunia, kemudian didalam perutnya ada barang yang berharga, maka mayat itu harus dibedah.
4)     Imam Hanafi
Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk mengeluarkan janin itu.











BAB III
KESIMPULAN
Hukum permasalahan cangkok jantung, ginjal, dan mata sesungguhnya diperbolehkan dalam Islam. Hanya saja asalkan tidak membahayakan bagi pendonor maupun bagi penerima. Karena ulama sepakat pada qaidah fiqh yang artinya berbunyi “Kesulitan (yang dialami manusia), boleh diupayakan untuk mendapatkan kemudahan”.  Masalah transpusi darah boleh saja tanpa mengenal batas bahwa  mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang non muslim dan sebaliknya demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat manusia. Sebab Allah sebagai Khalik alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan manusia, sebagaimana firman-Nya: “dan sesungguhnya Kami memuliakan anak cucu Adam (manusia).” (QS. Al-Isra:70).
Maka sudah seharusnya manusia bisa saling menolong dan menghormati sesamanya. Sedangkan masalah hukum bedah mayat dibolehkan untuk beberapa kepentingan, salah satunya yaitu untuk menyelamatkan janin yang masih hidup namun Ibu yang mengandungnya sudah meninggal maka janin tersebut harus diselamatkan.









DAFTAR PUSTAKA


Ebrahim, Abul Fadl Mohsin. Fikih Kesehatan. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Cet.ke-1. Agustus 2007
E:\semester_VI\link-2\Sejarah Transplantasi dan hukum donor jaringan tubuh menurut Islam « Manusia biasa.htm
3E:\semester_VI\link-2\Sejarah Transplantasi dan hukum donor jaringan tubuh menurut islam « Manusia biasa.htm

MENGGALI KUBUR

A. Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu
Dalam hal ini tentunya ada perbedaan antara kuburan orang-orang Islam dan kuburan orang-orang kafir. Membongkar kuburan muslimin adalah tidak diperbolehkan kecuali setelah lumat dan menjadi hancur. Hal itu dikarenakan membongkar kuburan tersebut menyebabkan koyak/pecahnya jasad mayit dan tulangnya, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
Ùƒَسْرُ عَظْÙ…ِ الَْـمَÙŠِّتِ‏‎ ‎ÙƒَÙƒَسْرِÙ‡ِ Ø­َÙŠًّا
“Mematahkan tulang mayit seperti mematahkannya ketika hidup.”

Maka seorang mukmin tetap terhormat setelah kematiannya sebagaimana terhormat ketika hidupnya. Terhormat di sini tentunya dalam batasan-batasan syariat.
Adapun tentang membongkar kuburan orang-orang kafir, maka mereka tidak memiliki kehormatan semacam ini sehingga diperbolehkan membongkarnya berdasarkan apa yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim. Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berhijrah dari Makkah ke Madinah, awal mula yang beliau lakukan adalah membangun Masjid Nabawi yang ada sekarang ini. Dahulu di sana ada kebun milik anak yatim dari kalangan Anshar dan di dalamnya terdapat kuburan orang-orang musyrik. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kepada mereka:
Ø«َامِÙ†ُونِÙŠ Ø­َائِØ·َÙƒُÙ…ْ
“Hargailah kebun kalian untukku.” Yakni, juallah kebun kalian untukku. Mereka menjawab: “Itu adalah untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Kami tidak menginginkan hasil penjualan darinya.”
Karena di situ terdapat reruntuhan dan kuburan musyrikin, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan agar kuburan musyrikin tersebut dibereskan. Maka (dibongkar) dan diratakanlah, serta beliau memerintahkan agar reruntuhan itu dibereskan untuk selanjutnya diruntuhkan. Lalu beliau mendirikan Masjid Nabawi di atas tanah kebun tersebut.
Jadi, membongkar kuburan itu ada dua macam: untuk kuburan muslimin tidak boleh, sementara kuburan orang-orang kafir diperbolehkan.
Saya telah isyaratkan dalam jawaban ini bahwa hal itu tidak boleh hingga mayat tersebut menjadi tulang belulang yang hancur, menjadi tanah. Kapan ini? Ini dibedakan berdasarkan perbedaan kondisi tanah. Ada tanah padang pasir yang kering di mana mayat tetap utuh di dalamnya –masya Allah- sampai sekian tahun. Ada pula tanah yang lembab yang jasad cepat hancur. Sehingga tidak mungkin meletakkan patokan untuk menentukan dengan tahun tertentu untuk mengetahui hancurnya jasad. Dan sebagaimana diistilahkan “orang Makkah lebih mengerti tentang lembah-lembahnya di sana” maka orang-orang yang mengubur di tanah tersebut (lebih) mengetahui waktu yang dengannya jasad-jasad mayat itu hancur dengan perkiraan. (Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani hal. 53)
B. Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah
Pada asalnya tidak boleh membongkar kubur mayit serta mengeluarkan mayit darinya. Karena bila mayit telah diletakkan dalam kuburnya, artinya dia telah menempati tempat singgahnya serta mendahului yang lain ke tempat tersebut. Sehingga tanah kubur tersebut adalah wakaf untuknya.
Tidak boleh seorangpun mengusiknya atau mencampuri urusan tanah tersebut. Juga karena membongkar kuburan itu menyebabkan mematahkan tulang belulang mayit atau menghinakannya. Dan telah lewat larangan akan hal itu pada jawaban pertanyaan pertama.
Hanyalah diperbolehkan membongkar kuburan mayit itu dan mengeluarkan mayit darinya, bila keadaan mendesak menuntut itu, atau ada maslahat Islami yang kuat yang ditetapkan para ulama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufiq semoga shalawat dan salam-Nya tercurah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, dan para sahabatnya.
Ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/122)
C. Kapan Dibolehkan Menggali Mayat setelah Dikuburkan?
Sebagaimana yang telah lalu kita sebutkan bahwa Islam benar-benar memuliakan manusia sehhngga memerintahkan untuk menguburkan dan menimbunnya langsung setelah wafat. Islam menjadikan kubur sebagai hak milik dan tempat berlindung bagi penghuninya. Juga Islam melarang mayat seorang muslim digali dari kuburnya kecuali dengan sebab syar’i yang memaksa. Sebab-sebab syar’i yang membolehkan penggalian mayat dari kuburnya itu banyak, memungkinkan bagi kami untuk menyebutkan yang penting di antaranya, yaitu kalau mayat:
1) Dikuburkan di masjid.
2) Telah hancur menjadi tanah. Hal itu setelah lewat masa tertentu yang dapat diketahui dengan hasil penelitian.
3) Dikuburkan sebelum dimandikan.
4) Dikuburkan tidak menghadap kiblat.
5) Dikuburkan tanpa kafan.
6) Dikhawatirkan akan dipermainkan.
7) Terganggu oleh apa saja.
8) Dikuburkan di tanah hasil rampasan.
9) Dikhawatirkan atas kuburnya aliran banjir atau basah.
10) Adanya harta atau lembaran bernilai yang terbawa bersamanya ketika penguburan.
11) Ada darurat untuk menggalinya dan mengumpulkan tulang belulangnya lalu dipindahkan ke tempat lain sebab sempitnya pekuburan misalnya.
12) Dikuburkan di pekuburan orang-orang kafir.
13) Dikuburkan di negeri kafir.
14) Dikuburkan bersama mayat yang lain.
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Adapun menggali kuburan, maka tidak boleh tanpa sebab syar’i, menurut kesepakatan para shahabat (yakni ulama madzhab Asy-Syafi’iyyah). Dan dibolehkan dengan adanya sebab-sebab syar’i, semisal yang telah lalu. Ringkasnya: Boleh menggali kembali kubur apabila (mayat) telah hancur menjadi tanah, maka ketika itu boleh memakamkan mayat lainnya di tempat itu, boleh menanam di atasnya, membangun, dan segala bentuk pemanfaatannya, berdasarkan kesepakatan para orang dari kalangan (ulama Asy-Syafi’iyyah). Jikalau tanahnya pinjaman, maka ia kembali kepada pemiliknya. Namun semua ini bila tidak ada yang tersisa dari mayat berupa tulang atau selainnya. Para shahabat kita berkata: Berbeda dalam masalah ini sesuai dengan perbedaan negeri dan tanahnya. Dan dalam hal ini, yang dipegangi adalah pendapat para ahli yang berpengalaman.
Boleh menggali kembali mayat, apabila dikuburkan tanpa menghadap kiblat atau belum dimandikan, menurut pendapat yang lebih tepat. Begitu juga jika belum dikafani , atau dikafani dengan kafan hasil rampasan atau sutra, atau tanahnya tanah rampasan, atau ada perhiasan yang ikut tertanan, atau ada suatu harta terjatuh ke dalam kubur, sesuai dengan apa yang telah lalu semuanya secara terperinci beserta perbedaan pendapat seputarnya.
Al-Mawardi berkata dalam Al-Ahkaamus Sulthaaniyyah: “Jikalau kubur terkena aliran banjir atau tanahnya basah, maka Abu ‘Abdillah Az-Zubairi berkata, ‘Boleh memindahkannya’, sedangkan yang lain melarangnya. Saya katakan bahwa pendapat Az-Zubairi lebih benar, karena dalam Shahih Al-Bukhari telah tsabit (pasti) dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa dia menguburkan ayahnya dengan seorang laki-laki lain [4] dalam satu kubur di hari Uhud. Kemudian dia berkata: “Lalu jiwaku tidak tenang membiarkannya dengan yang lain, maka saya pun mengeluarkannya setelah lewat enam bulan. Ternyata keadaannya masih seperti di hari ketika saya meletakkannya selain sedikit sekali perubahan pada telinganya.”
Dalam riwayat lain yang diriwayatkan Al-Bukhari juga: “Saya mengeluarkannya lalu meletakkannya di kubur yang tersendiri.”
Ibnu Qutaibah -dalam Al-Ma’arif- dan selainnya menyebutkan: ‘Sesungguhnya Thalhah bin ‘Ubaidillah, salah satu dari sepuluh orang yang telah diberikan kabar gembira dengan surga, dikuburkan. Lalu ‘Aisyah, anaknya, bermimpi melihatnya, tiga puluh tahun setelah dikuburkannya. Thalhah mengadukan kepada anaknya tentang air yang merembes. Maka ‘Aisyah menyurth untuk menggalinya, lalu dia dikeluarkan dalam keadaan basah, lalu dikuburkan di kampungnya di Bashrah.’ Yang selain Ibnu Qutaibah berkata: Perawi mengatakan, ‘Seolah saya melihat kepada kapur barus di kedua matanya, kecuali jalinan rambutnya telah bergeser dari tempatnya. Sedangkan sisi yang terkena rembesan air menghijau’.
Asy-Syaikh Manshur bin Yunus Al-Bahuti berkata dalam Syarh Muntahal Iraadat: “Diharamkan menguburkan mayat di masjid dan semisalnya (sekolah, dan lainnya), sebab semua itu tidaklah dibangun untuk kuburan. Mayat yang dikuburkan di sana wajib digali dan dikeluarkan berdasarkan nash. Diharamkan menguburkan di tanah orang lain selama belum mendapatkan izin dari pemiliknya, kalau diizinkan maka dibolehkan. Pemilik mempunyai hak (kalau telah dikuburkan) jika tanpa izinnya, untuk memindahkan mayat dari tanah miliknya dan memaksa orang yang menguburkan di sana untuk memindahkan dan mengosongkannya. Namun yang lebih utama baginya membiarkan saja mayat itu agar tidak terkoyak kehormatannya.
Dibolehkan menggali kubur kuffar (orang-orang kafir) harbi [6] untuk kemaslahatan, sebab letak masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulunya adalah pekuburan kaum musyrikin. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menggalinya dan menjadikannya sebagai masjid. Boleh juga menggali kubur harbi karena ada harta di dalamnya, berdasarkan hadits:
Ini adalah kubur Abu Righal, tandanya ialah padanya ada potongan emas. Jikalau kalian berpendapat menggalinya, niscaya kalian akan mendapatkan potongan emas itu bersamanya.’ Maka orang-orang pun berlomba, akhirnya mereka mengeluarkan potongan emas tersebut.
Tidak dibolehkan menggali kubur seorang muslim ketika masih ada tulang belulangnya kecuali karena darurat, seperti:
1) Ia dikuburkan di tanah milik orang lain tanpa izin.
2) Dikuburkan dengan kafan hasil rampasan. Maka kuburannya digali dan diambil kalau kafan itu masih baik untuk dikembalikan kepada pemiliknya, jikalau tidak mungkin dibayar dengan harta peninggalannya. Sedangkan kalau tidak memenuhi syarat itu, maka tidak boleh digali sebab akan merobek kehormatannya, padahal ada solusi lain menghindari efek negatif itu.
3) Mayat menelan harta selainnya tanpa izin dan masih ada, seperti emas. Sedangkan pemiliknya meminta dikembalikan, namun tidak mampu dibayarkan dengan harta peninggalannya atau selainnya untuk pelunasan, maka digali dan dirobek perut mayat lalu dikembalikan harta tersebut kepada pemiliknya untuk melepaskan mayat dari dosanya. Adapun kalau dia menelannya dengan izin pemiliknya, atau barangnya sudah tidak ada, atau tidak diminta oleh pemiliknya, atau tidak ada halangan untuk membayarnya, maka tidak boleh digali.
4) Ada sesuatu yang bernilai untuk transaksi yang terjatuh kedalam kubur, walaupun sedikit dan walaupun jatuhnya itu sebab perbuatan pemiliknya sendiri. Maka kuburannya digali dan benda itu diambil. Berdasarkan riwayat: “Sesungguhnya Al-Mughirah bin Syu’bah meletakkan cincinnya di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu (ketika dia teringat) dia berkata, ‘Cincinku!’, maka dia masuk mengambilnya. Ketika itu dia berkata, ‘Sayalah yang paling terakhir mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada kalian’.”
5) Ahmad berkata: {Jikalau penggali kubur lupa sekopnya (dan tertinggal) di dalam kubur, boleh menggalinya. Dan kubur tidak boleh digali jikalau mayat menelan hartanya sendiri sebelum jasadnya hancur, sebab hal itu termasuk pemakaian harta sendiri di masa hidupnya, sehingga sama halnya dengan membelanjakannya. Sedangkan kalau jasad mayat sudah hancur sementara harta tetap ada, maka para pewarisnya boleh mengambilnya. Kecuali kalau mayat yang menelan hartanya sendiri itu mempunyai hutang, maka digali dan disobek perutnya lalu dibayarkan segera untuk membebaskannya dari tanggung jawab.

Wajib menggali mayat yang dikuburkan tanpa dimandikan jikalau memungkinkan, agar mendapatkan kewajiban yang terlewatkan, maka mayat dikeluarkan lalu dimandikan selama tidak dikhawatirkan akan terpotong-potong.
Atau mayat yang dikuburkan sebelum dishalati, maka dikeluarkan dan dishalati lalu dikembalikan ke tempatnya, berdasarkan nash. Hal ini dilakukan selama tidak dikhawatirkan mayat akan terpotong-potong. Sebab menyaksikan mayat ketika dishalati adalah hal yang diinginkan. Oleh karena itu, andaipun telah dishalati sebelum dikuburkan tetapi tertutup oleh hijab, maka tidak sah.
Atau mayat yang dikuburkan tanpa kafan, maka dikeluarkan dan dikafani berdasarkan nash agar mendapatkan kewajiban yang tertinggal, sebagaimana kalau dikuburkan tanpa dimandikan. Dan wajib diulangi shalat atasnya, sebab memshalatinya pada kali yang pertama belumlah menggugurkan kewajiban, diriwayatkan oleh Sa’id dari Mu’adz bin Jabal.
Kalau mayat dikafani dengan sutra maka ada dua pendapat, namun dalam Al-Inshaaf (dinyatakan): “Yang utama adalah tidak menggalinya.”
Kalau mayat dikuburkan tidak menghadap kiblat, maka digali dan dihadapkan ke kiblat untuk mendapatkan kewajiban yang terlewatkan. Boleh menggali kubur mayat untuk maksud yang benar, seperti memperbaiki kafannya, berdasarkan hadits Jabir yang berkata:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi Abdullah bin Ubai setelah dikuburkan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluarkannya, dan menyemburkan ludah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya, serta memakaikannya baju beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan boleh menggali kuburan dengan sebab yang semisalnya, seperti menyendirikan mayat yang dikuburkan dengan mayat lain, sesuai dengan hadits Jabir, ia berkata: “Seseorang dikuburkan bersama ayahku maka jiwaku tidak tenang, sampai saya mengeluarkannya lalu meletakkannya ke dalam kubur tersendiri.
Boleh menggalinya untuk memindahkan ke tanah yang mulia dan berdekatan dengan orang shalih… kecuali seorang yang syahid, maka dikuburkan di tempat dia terbunuh dan tidak boleh dipindahkan…
Abul Ma’ali berkata: Wajib untuk memindahkannya karena suatu darurat, misalnya ia berada di negeri harbi atau suatu tempat yang dikhawatirkan akan digali, dibakar, atau dipermainkan.
Al-Imam Majduddin Abul Barakat Ibnu Taimiyyah berkata: {Ibnu ‘Aqil berkata -tentang mayat yang dikuburkan tidak menghadap kiblat-: Para shahabat kita berkata, ‘Apakah digali kuburnya? Karena menghadap kiblat adalah disyariatkan dan memungkinkan untuk dilakukan, hingga tidak boleh ditinggalkan? Sebagaimana dia menyebutkan masalah ini. Dan yang semisal dengannya adalah dikuburkan tanpa dimandikan. Jawabnya: Digali, dimandikan dan diarahkan ke kiblat, kecuali bila dikhawatirkan akan mengakibatkan terpotong-potong tulangnya, maka dibiarkan.
Ibnu ‘Aqil menyelisihi Abu Hanifah. Ibnu ‘Aqil berargumen bahwa hukumnya wajib, dan kewajiban itu tidaklah gugur dengan penguburannya, sebagaimana halnya mengeluarkan suatu barang yang bernilai.
Adapun ucapan mereka: ‘Menggali kembali adalah penyakit’, kami katakan: ‘Itu hanyalah untuk mayat yang sudah berubah, maka tidak digali.’
Penulis -dalam Syarhul Hidaayah- menyelisihi Abu Hanifah dalam dua masalah. Ia katakan dalam masalah menguburkan sebelum dimandikan: Karena memandikan itu wajib lagi disanggupi, tanpa ada penghalang.
Dan dalam masalah menguburkan tidak menghadap kiblat, ia mengatakan tentang pendapat Abu Hanifah: Pendapatnya di sini lebih mengena, karena mengarahkannya ke kiblat adalah sunnah dan tidak wajib, sehingga untuk mendapatkannya tidaklah harus melakukan sesuatu yang dilarang.
Alasan kita, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum telah menggali kembali kubur dengan tujuan yang lebih ringan dari ini. Maka menggali kembali kubur dengan tujuan yang lebih ringan dari ini. Maka menggali kembali kubur untuk menghadapkan mayat ke kiblat adalah lebih utama untuk dilakukan. Sedangkan menggali yang dilarang ialah apabila bukan karena tujuan yang benar.
Lalu alasan mereka dibantah dengan hukum khitan menurut mereka sendiri. Yang mana khitan menurut mereka adalah sunnah, namun mengharuskan untuk membuka aurat yang menurut hukum asalnnya diharamkan (untuk diperlihatkan kepada orang lain). Selesai ucapan Ibnu ‘Aqil.
Asy-Syaikh Wajih menyebutkan alasan penguburan tanpa menghadap kiblat bahwa menghadap kiblat adalah sunnah yang disyariatkan, dan merupakam salah satu syi’ar kaum muslimin yang sanggup untuk dilakukan, maka tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana kalau diingat sebelum peletakan bata.
Asy-Syaikh katakan: Al-Mawardi, penulis kitab Al-Haawi, menyebutkan dalam kitabnya: “Orang pertama yang diarahkan ke kiblat adalah Al-Bara’. Dia mewasiatkan hal itu, hingga menjadi sunnah.” Selesai ucapannya.
Al-Amidi, Syarif Abu Ja’far, dan selainnya memastikan wajibnya menghadapkan ke kiblat.
Al-Qadhi Abul Husain berkata dalam Majmu’-nya: “Kalau dikuburkan tanpa dimandikan, maka digali kembali dan dimandikan, sama halnya baik dia telah ditimbun dengan tanah atau belum. Inilah dzahir madzhab Asy-Syafi’iyyah dan juga pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i.
Ini hukumnya jikalau dikuburkan tanpa menghadap kiblat. Dan semua ini dengan catatan jika mayat belum berubah. Abu Hanifah katakan: Kalau sudah ditimbun dengan tanah, maka tidak digali lagi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sewaktu ditanya tentang satu mayat, apakah dipindahkan atau tidak, maka beliau menjawab: “Alhamdulillah. Tidak boleh digali mayat dari kuburnya kecuali karena suatu hajat. Misalnya, di kuburan yang pertama ada sesuatu yang menimpakan keburukan terhadap mayat, maka boleh dipindahkan ketempat lain. Sebagaimana ada sebagian shahabat yang dipindahkan karena hal yang serupa.”
Ibnu Qudamah mengatakan dalam Al-Mughni: Ahmad ditanya tentang mayat yang dikeluarkan dari kuburnya ke tempat lain, maka beliau menjawab: “(Boleh) kalau ada sesuatu yang mengganggunya. Thalhah telah dipindahkan, juga ‘Aisyah.” Ketika beliau ditanya tentang beberapa orang yang dikuburkan di kebun-kebun dan tempat-tempat yang diremehkan, maka beliau menjawab: “Mu’adz telah menggali kembali kubuq istrinya. Sebelumnya, dia dikafani dengan pakaian usang maka Mu’adz mengkafaninya”. Dan Abu Abdillah (Al-Imam Ahmad) tidak melihat adanya masalah bila dipindahkan.”
Asy-Syaukani memberikan komentar atas ucapan Jabir dalam hadits yang lalu: “Namun jiwaku belum merasa tenang.”
Dalam ucapan ini ada dalil tentang bolehnya menggali kubur mayat karena urusan yang berkaitan dengan yang masih hidup. Karena (sebenarnya) tidak ada kemudharatan bagi mayat kalau dikuburkan bersama mayat yang lain. Jabir telah menjelaskan hal tersebut dalam ucapannya: “Namun jiwaku belum merasa tenang.” Hanya saja, hal ini adalah hujjah kalau tsabit (pasti) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkannya melakukan hal itu atau memberikan persetujuan atasnya. Sedangkan kalau tidak, maka tidak ada hujjah dalam perbuatan shahabat.
Laki-laki yang telah dikuburkan bersamanya ialag ‘Amru bin Al-Jamuuh bin Zaid bin Haram Al-Anshari, seorang teman ayah Jabir, dan suami dari saudara perempuannya, Hindun binti ‘Amr.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dalam Al-Maghazi, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kumpulkanlah keduanya, sebab keduanya di dunia bersahabat karib.”
Ucapannya: “Sampai saya mengeluarkanmya”, dalam lafazh lain yang diriwayatkan Al-Bukhari: “Maka saya mengeluarkannya setelah lewat enam bulan. Ternyata dia masih seperti di hari saya meletakkannya dulu, selain sedikit perubahan di telinganya.”
Dzahir kabar ini menyelisihi riwayat dalam Al-Muwaththa’ dari Abdirrahman bin Abi Sha’sha’ah, bahwa sampai berita kepadanya bahwa banjir telah melubangi kubur ‘Amru bin Al-Jamuuh Al-Anshari dan Abdullah bin ‘Amr Al-Anshari (ayah Jabir) yang berada dalam satu kubur. Maka kubur keduanya digali dan didapati keduanya belum berubah, seolah jeduanya meninggal kemarin. Padahal jarak antara perang Uhud dengan penggalian adalah 46 tahun.
Ibnu ‘Abdil Barr menggabungkan kedua riwayat ini bahwa ada beberapa kisah dalam hal ini. Tapi Ibnu Hajar mengatakan dalam Al-Fath: “Ini dipertanyakan, sebab pada hadits Jabir disebutkan bahwa dia menguburkan ayahnya di kubur tersendiri, sedangkan dalam hadits Al-Muwaththa’ disebutkan bahwa keduanya didapatkan dalam satu kubur setelah berlalu 46 tahun. Maka mungkin yang dimaksud dengan ‘keduanya berada pada satu kubur’ ialah kedekatannya, atau banjir telah melubangi salah satu kubur sehingga keduanya seolah menjadi satu. Riwayat yang semisal riwayat Al-Muwaththa’ juga dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dalam Al-Maghazi dan Ibnu Ishaq dalam Al-Maghazi dan Ibnu Sa’d melalui jalur Abiz Zubair dari Jabir dengan isnad yang shahih.















Shahih, HR. Ahmad (6/58, 105, 168, 200, 364) Abu Dawud (3207) Ibnu Majah (1616) dan yang lain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, lihat Irwa`ul Ghalil: 763, Ahkamul Jana`iz,
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=664
Hukum Memindahkan Jenazah karya Al-Amin Al-Haaj Muhammad Ahmad (penerjemah: Fuad Lc.), penerbit: Pustaka Ar Rayyan, hal. 47-58.

Kamis, 26 Agustus 2010

PUASA YANG MEMBAWA BERKAAH KEPADA KITA SEMUA

Dengan puasa orang tidak boros untuk memenuhi hawa nafsu belaka
DATA GURU MIS KECAMATAN PINGGIR







No Nama NIP Tempat / Tgl Lahir Ijazah terakhir Tempat tugas Ket
1 Esil Deswita, A.ma   B. Lawas 20-08-1976 D.2 MI. Nur ilham  
2 Mardiana. S.PdI   Sopraru.02-12-1982 SI MI. Nur ilham  
3 Herdiana. A.ma   Hutaraja. 10-08-1982 D.2 MI. Nur ilham  
4 Aseh Sriwinarni   Mandoge 21-12-1980 SI MI. Nur ilham  
5 Nefi Lindora, SE   Padang, 05-02-1981 SI MI. Nur ilham  
6 Gendrianto. S. Sos.I   B. Talang, 21-07-1982 SI MI. Nur ilham  
7 Delviyanti A.ma   Duri, 26-10-1986 D.II MI. Nur ilham  
8 Yessi herawati   Medan,30-08-1989 SMU MI. Nur ilham  
9 Fatmawati. S.Pd   B. Tinggi, 08-08-1979 SI MI. Nur ilham  
10 Marjoni   Payakumbuh 08-03-1985 MA MI. Nur ilham  
11 Seprita Itni, A.ma   Duri, 30-10-1985 D.2 MI. Nur ilham  
12 Evita rahmi A.ma   M. Gunung, 22-08-1986 D.2 MI. Nur ilham  
13 Afni ramadani   Duri. 25-04-1989 MA MI. Nur ilham  
14 Ika Nurhalimah   Magelang, 25-06-1989 MA MI. Nur ilham  
15 Heri Siswandi   P. Selatan, 10-02-1978 SMP MI. Nur ilham  
16 Samsul Hadi. S.PdI   Drenges. 12,11,1968 SI MI. Nur ilham  
 
1 Rahmad. S.Ag   Namutongan. 29-11-1973 SI MI. YLPI Mujahiddin  
2 Herlina   Palembang. 18-10-1976 SMA MI. YLPI Mujahiddin  
3 Dariani   Berangir. 16-05-1980 MAS MI. YLPI Mujahiddin  
4 Muslimah   S. Jaya. 25-01-1987 MA MI. YLPI Mujahiddin  
5 Muharis   Medan, 06-11-1985 SMUIN MI. YLPI Mujahiddin  
6 Maslen Susanti   Tb. Lawan, 02-12-1986 MAS MI. YLPI Mujahiddin  
7 Selamet rahayu   Perdamamian. 12,03,1988 SMU MI. YLPI Mujahiddin  
8 Yusmanto   B. Melintang. 04-02-1977 SMA MI. YLPI Mujahiddin  
9 Solihin   Sumber jaya. 15-11-1986 SMU MI. YLPI Mujahiddin  
10 Saputra   Stungkit. 30-06-1983 SMA MI. YLPI Mujahiddin  
11 Syafi'i   Kualanamu. 07-07-1979 MA MI. YLPI Mujahiddin  
12 Banto   Wonogiri, 27-08-1988 SMA MI. YLPI Mujahiddin  
 
1 Edi wiharto S.PdI   Tanjung rejo, 08-05-1985 S.I MI. Al-Muhajirin  
2 Supiani, A.ma   Binjai serbangar. 06-10-1971 D.2 MI. Al-Muhajirin  
3 Suryatik. A.ma   Pekantolan. 16-08-1981 D.2 MI. Al-Muhajirin  
4 Istikomah, A.ma   Pulau gambar, 28-12-1979 D.2 MI. Al-Muhajirin  
5 Nurita, A.ma   Tanjung rejo, 04-05-1986 D.2 MI. Al-Muhajirin                    
6 Misriana, S.PdI   Desa banjar, 10-08-1976 S.I MI. Al-Muhajirin  
7 Rusydah HSB, A.ma   Sei baru, 08-05-1984 D.2 MI. Al-Muhajirin  
8 Karsini, A.ma   Baam, 27-05-1982 D.2 MI. Al-Muhajirin  
9 Kasmaboty, A.ma   Sayur matua, 5-12-1971 D.2 MI. Al-Muhajirin  
10 Nurbayani R. A.ma   Silau bandar, 09-09-1984 D.2 MI. Al-Muhajirin  
11 Hesti suryawati, A.ma   Dolok malela, 12-09-1985 D.2 MI. Al-Muhajirin  
12 Rudiansyah Manurung   Kisaran, 13-03-1988 Aliyah MI. Al-Muhajirin  
 
1 Rasiman   Candung manis. 21-10-1971 SPP (pertanian) MI. Al-Komar  
2 Rusmah   Sei. Mulyo, 10-08-1975 MA MI. Al-Komar  
3 Eka mariani   Duri. 10-01-1986 MA MI. Al-Komar  
4 Ike haryanti   Air teluk hesa, 12-06-1988 SMA MI. Al-Komar  
5 Lasini   Sengot sari. 02-02-1984 SMK MI. Al-Komar  
6 Usman jelani   Teluk dalam. 02-04-1980 MA MI. Al-Komar  
7 Nanda wulandari   Naga timbul. 08-03-1988 SMA MI. Al-Komar  
8 Nursaidah   Pare-pare. 01-08-1988 SLTA MI. Al-Komar  
 
1 Suheni   Parputaran. 9-10-1984 SMK MI. Assyahida  
2 Neneng Sunengsih   Parputaran.25-08-1988 SMA MI. Assyahida  
3 Widawati   Duri. 09-03-1985 D.I MI. Assyahida  
4 Nurhaidah, A.ma   Rambung meraah. 05-02-1980 D.II MI. Assyahida  
5 Sonya Erawati   Duri. 16-01-1983 SMA MI. Assyahida  
6 Indra yanti, S.PdI   Tanah rakyat. 16-02-1982 S.I MI. Assyahida  
7 M. Irwan   Pulau halang. 12-12-1981 SMA MI. Assyahida  
8 Yulia dewi   Medan. 12-09-1990 SMA MI. Assyahida  
9 Rokandar   Ranto prapat. 09-11-1990 MA MI. Assyahida